|
|
Ga bisa tidur, Ga sengaja, gw pindah channel ke Celestial Movies. Ada
film jadul yang lagi diputer disitu. Judulnya Tropical Interlude.
Settingnya menurut gw model 70-an
komplit dgn celana ketat cutbray buat co-nya dan model rambut sasak
buat ce-nya.
Yang bikin gw ga pindah, film mandarin tersebut saat
itu sedang menyanyikan lagu berbahasa Mandarin, tapi ber-irama lagu
yang gue kenal sebagai lagu "Rasa Sayange" (Nah Lho).
Dari kecil, gue denger dan mungkin diajarkan di sekolah, kalau lagu
tersebut adalah lagu dari Maluku. Tapi, kok dinyanyikan dalam bahasa
Mandarin ya?
Jadi ini lagu milik siapa? |
Besoknya, gw penasaran dan menemukan dua jenis informasi. Wikipedia
versi English, menyebutkan lagu ini milik Malaysia, walau disebutkan
dikarang oleh Paulus Pea (Ambon), tetapi tidak ada fakta resmi mengenai
itu (katanya). Lucunya, tahun 2007 Tourism Board Malaysia menjadikan
lagu tersebut sebagai lagu untuk mempromosikan Malaysia!
Wikipedia versi Indonesia, menyebutkan lagu tersebut adalah lagu yang
turun temurun dinyanyikan di Ambon, dimana bentuk lagunya berbentuk
sajak atau pantun, yang bisa diisi beragam kalimat yang menyenangkan.
Indonesia meng-klaim, lagu tersebut merupakan lagu yang telah direkam
di Indonesia sejak tahun 1962. Tetapi Malaysia menolaknya, dengan
alasan fakta tersebut kurang kuat, dan lagu tersebut merupakan lagu
kepulauan di Asia Tenggara.
Cape deh.
Gw sih skeptis kalo udah urusan copyright. Gw pikir, masalah hak cipta
yang harusnya menjadi perlindungan bagi pencipta, saat ini rasanya cuma
jadi urusan kertas dan bukti lalu mengesampingkan nurani.
Gw nggak begitu tau soal mana yang benar, yang gue inget, entah
pelajaran sejarah atau apa dulu mengajarkan ada pola de facto
(berdasarkan fakta) dan pola de jure (berdasarkan hukum).
Sadarilah, banyak kasus memutarbalikan fakta dan memanfaatkan kelemahan hukum justru jadi pengakuan umum.
Udah ah. Basi kali ye ributin soal Malaysia?
Gue mikir lain aja deh. Soal kejayaan dan perbaikan untuk kita sendiri.
Saat ini, Malaysia dan Singapore memang lebih makmur dibanding
Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Beberapa
faktornya (kata orang) adalah jumlah penduduk yang kecil, penggunaan
sumber daya yang maksimal, rakyat dan pemerintahan yang baik (atau
semakin membaik).
Kenapa gue bahas soal ini, karena setting di film tersebut, yang
akhirnya gue ketahui merupakan setting film tahun 1969. Kelihatan
sekali beberapa kondisi di Singapore dan Malaysia yang jauh berbeda
dari kondisi saat ini.
Saat itu sih gw juga belon lahir. Tapi, beberapa adegan yang diambil
memperlihatkan scene yang gue kenal, seperti museum di Singapore atau
kondisi Penang, Malaysia.
Sepanjang film tersebut, gue liat juga jalan mulus yang masih banyak
rumput liar dan ogokan pasir di jalanan (yang saat ini kondisi tersebut
belum pernah gue liat di Singapore). Juga banyak terlihat rumah-rumah
beratapkan seng yang sudah berkarat, atau kondisi yang cukup semrawut
di Singapura.
Belajar dari scene tersebut. Kalau mengingat setting film tersebut
dilakukan antara tahun 1968 atau 1969, artinya butuh puluhan tahun
untuk menjadikan Singapura atau Penang yang sekarang.
Artinya, kalau kita mau belajar dari sana. Harusnya kita juga bisa.
Walaupun mungkin tidak mudah, mengingat penduduk kita yang (terakhir gw
tahu) sekitar 220 juta, dibandingkan penduduk Singapore yang 5 juta
atau Malaysia yang 27 juta.
Yah, sepintas curhat ngaco gue aja..
Ketimbang ribut soal Rasa Sayange, lebih baik menunjukan Rasa Sayange kita ke negri ini.
Powered by Azrul's Jom Comment |