(Liputan Kompas Minggu, 28 Agustus 2005)
Oleh: Edna C Pattisina dan Dahono Fitrianto
Di tengah berbagai kesibukan yang mengimpit, bermain menjadi sesuatu yang mewah karena waktunya semakin langka. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para anggota Code 4 Wargame Club.
Seminggu dua kali mereka bermain perang-perangan. Supaya semakin seru, digunakan berbagai skenario.
Mulai dari konflik bersenjata di Bosnia-Herzegovina, sampai perang Afganistan pernah mereka mainkan.
Demikian juga dengan skenario film seperti Black Hawk Down atau Behind Enemy Lines. Mereka sampai meniru dialog aslinya.
Harus pintar-pintar mengkhayal, kalau enggak, cuma jadi tembak-tembakan aja, kita di ujung yang satu, mereka di ujung yang lain, enggak seru, kata Raya Fahreza Wiguna, anggota Code 4 Wargame Club.Kalau lagi beraksi, gaya mereka bisa “selangit”. Tidak saja lewat permainan replika senjata yang dikokang di tengah hutan bagai gerilyawan, ketegangan patroli malam, hingga tentu saja adegan baku tembak untuk menjebol pertahanan lawan sekaligus menjatuhkan musuh.
Di sela-sela itu, tidak lupa ada yang duduk di bawah pohon, menulis surat untuk pacar pada saat-saat istirahat, atau dengan wajah serius berkata pada temannya:
“Titip surat ini buat istriku yah. Kalau-kalau aku enggak selamat dalam pertempuran ini.”
Dengan gaya dan atributnya, mereka pernah tampil beberapa kali menjadi model. Terbaru, sutradara Rizal Mantovani mengundang mereka menjadi polisi-polisi Amerika dalam video klip Peterpan yang baru. “Aku butuh orang-orang yang bisa gaya khasnya,” ucap Rizal.
Berebutan empat anggota Code 4 menceritakan keseruan komunitas mereka: Irwan H. Nuswanto, pengusaha bidang teknologi informasi, yang juga pendiri Code 4 Airsoft Club; Andrianto W. Nuswanto, mahasiswa yang membuka toko mainan replika Airsoftland untuk perang-perangan; dan Lucas Ony yang dengan sabar mengumpulkan pernak-pernik militer sedunia dari baju otentik Vietkong sampai penjaga perbatasan Jerman Timur. Ada lagi Raya Fahreza yang tak menyukai senjata sungguhan dan sempat bercita-cita menjadi bintang film perang.
Para anggota Code 4 walau berasal dari berbagai kalangan biasanya orang-orang yang antusias pada kemiliteran. Irwan dan Raya sewaktu masih duduk di bangku SMP, masing-masing pernah datang ke Kedutaan Besar AS untuk bertemu atase militer. Kedatangan mereka disambut baik, malah mendapat banyak penjelasan tentang militer AS.
Saat berdiri tahun 2000-an, kami semua punya pikiran yang sama, “ternyata saya waras juga?,” kata Irwan.
Dengan jumlah anggota lebih dari 100 orang, dua perempuan di antaranya menjadi anggota aktif, Code 4 tak ingin tanggung-tanggung. Mereka berusaha tampil semirip mungkin dengan keadaan aslinya, mulai dari seragam hingga senjata yang digunakan.
Untuk adegan perang di Afganistan, sampai ada anggota yang bikin jenggot palsu dan pakai baju ala milisi Taliban, ujar Ony sambil menunjukkan foto temannya yang berdandan ala milisi di Afganistan itu.
Menurut Irwan, untuk mendapatkan seragam tentara luar negeri, mereka rela berburu di situs-situs internet luar negeri, bahkan mendatangi langsung kedutaan besar negara bersangkutan.
Pernah kami ingin membuat seragam tentara Swedia. Kami sampai minta izin ke atase militer Kedutaan Besar Swedia di Jakarta. Wah, ternyata mereka senang dan antusias sekali, paparnya.
Untuk urusan perlengkapan “perang” itu, mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Harga satu set seragam tentara Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II misalnya, mencapai Rp 2 juta. Belum lagi perlengkapan “senjata” airsoft gun yang harganya bervariasi, mulai Rp 40.000 hingga Rp 25 juta per pucuk.
Penggemar sejarah
Di samping bermain perang-perangan, para anggota Code 4 ini rata-rata juga penggemar sejarah. Sambil kongkow pembicaraan mereka bergerak antara posisi Armada ke-7 AS sedang berada di mana saat ini, sampai sejarah keberadaan tentara Gurkha di Asia.
Berkat relasi, mereka pun pernah beberapa kali bersilaturahmi dengan TNI/Polri, dan diizinkan mencoba latihan tembak sasaran dengan senjata ringan, serta melihat peralatan maupun fasilitas di instalasi.
Salah satu aturan di Code 4, tidak boleh memakai atribut militer Indonesia. Ini merupakan salah satu bentuk respek kami terhadap TNI/Polri,? kata Raya.
Cita-cita Code 4 saat ini, mereka ingin menggelar tapak tilas dan reka ulang adegan Perang Kemerdekaan Indonesia untuk memberikan gambaran nyata perjuangan para pahlawan kemerdekaan dulu.
Di luar negeri, misalnya Amerika dan Jepang, kegiatan war re-enactment itu sudah berlangsung sejak dulu, tutur Lucas Ony (35).
Di AS kegiatan re-enactment Perang Saudara (Civil War) dilakukan rutin setiap tahun di lokasi perang yang sesungguhnya, misalnya di Gettysburg, Pennsylvania. Ony dan teman-temannya pun ingin, misalnya, bisa menggelar re-enactment rute gerilya Panglima Besar Sudirman semasa Agresi Militer II Belanda tahun 1948, dan peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949.
Main-main pun bisa dilakukan dengan serius. Biar bagaimanapun, bermain adalah salah satu hasrat terdalam manusia. Mari bermain perang-perangan daripada perang betulan! Dor-dor-dor….
Ulasan lengkap:
Clubnya daerah mana mas…