|
Disadur dari Harian Kompas, 29 April 2008
Sejak Perang Dunia I, terutama setelah Perang Dunia II, garis
pertahanan Amerika Serikat tidak berada di wilayahnya sendiri, tetapi
jauh dari daratan AS. Dengan demikian, musuh tidak akan dapat menjamah
daratan AS.
Caranya dengan membangun pangkalan-pangkalan militer
dan menempatkan kekuatan militernya di wilayah-wilayah negara lain,
terutama kekuatan laut dan marinir. Maka, dikenal ada Armada I (daerah
Panama dulu), Armada VI (di Timur Tengah), dan Armada VII di Asia
Pasifik. Karena itu, mars Marinir AS diawali dengan kalimat ”From the
hall of Montezuma, to the shore of Tripoli”.
Membawa risiko
Penempatan
kekuatan militer di negara-negara lain, terutama daerah tropis, membawa
risiko tersendiri. Mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit yang
tidak ada di AS, yang mungkin dibawa pulang dan menyebar di AS.
Untuk
itu, mereka mendirikan pusat- pusat penelitian kedokteran di
wilayah-wilayah itu, diberi nama Naval Medical Research Unit (Namru).
Kalau tidak salah, pada awalnya ada tiga Namru. Tetapi, kini tinggal
dua, yaitu Namru 1, berkedudukan di Cairo untuk mempelajari berbagai
penyakit di wilayah Afrika dan Timur Tengah, dan Namru 2 terletak di
Jakarta sebagai pusat penelitian mereka mencakup wilayah Indonesia,
Filipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja, Laos, bahkan mungkin
sampai Sri Lanka atau Nepal.
Dalam panduan (manual) untuk perwira
medis AL-AS (US Navy Medical Officer) ada bab tentang medical
intelligence. Kata intelijen memberi konotasi mata-mata. Namun, panduan
itu mengatakan, para perwira kesehatan AL harus mengenali berbagai
penyakit di wilayah pasukan ditempatkan. Data-data itulah yang
dikumpulkan oleh Namru. Jadi, tidak ada kaitannya dengan spionase atau
mata-mata.
Naif
Yang mempunyai unit penelitian kesehatan di
militer bukan hanya AS. Singapura mempunyai Defence Medical Research
Unit, yang melakukan penelitian berbagai penyakit yang dapat
”menyerang” penduduk Singapura serta menyusun strategi
penanggulangannya jika penyakit semacam itu masuk ke Singapura.
TNI
juga mempunyai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) yang di
dalamnya ada unit penelitian kesehatan. Dulu litbang kesehatan TNI AL
(dulu ALRI) melakukan penelitian tentang efek udara tertutup di kapal
selam bagi kesehatan awak kapal serta mencari suhu optimal untuk
bekerja di kapal selam.
Atas keadaan itu, ungkapan Menkes Siti
Fadilah yang mengatakan, ”penelitian kesehatan, kok, di bawah militer”
terasa naif. Sebagai peneliti, ia seharusnya memahami, militer pun
boleh melakukan penelitian di bidang kesehatan sesuai dengan
kepentingan mereka.
Mengingat Namru merupakan bagian AL AS, dulu
mitra kerjanya yang terdekat adalah TNI AL. Penelitian yang dilakukan
dalam kerja sama dengan TNI antara lain penelitian malaria di Papua
yang bukan hanya dengan TNI AL (Lantamal V), melainkan juga dengan TNI
AD, pada awal tahun 1990-an.
Dari penelitian itu diketahui
seberapa besar parasit malaria di Papua yang sudah kebal terhadap
obat-obat antimalaria yang konvensional. Kalau tidak salah, hasil
penelitian ini juga dilakukan bersama Litbangkes dan P2MPLP Depkes yang
menghasilkan perubahan kebijakan obat antimalaria Depkes dan diagnosis
cepat untuk malaria (Rapid Test).
Maka, juga amat naif jika
dikatakan, Namru 2 tidak bekerja sama dengan lembaga Pemerintah RI.
Yang juga disayangkan adalah mengapa para pejabat Depkes yang terlibat
kegiatan Namru, seperti Litbangkes dan P2MPLP, tak memberi masukan
kepada Menkes sehingga beliau tidak mengambil kesimpulan terlalu cepat.
Sebab, banyak kegiatan Namru lainnya yang dilakukan bersama Depkes,
selain dengan berbagai perguruan tinggi.
Spionase
Cerita
tentang spionase ini menarik dan penuh thrill. Bahwa Namru bisa
dijadikan tameng kegiatan spionase, bisa-bisa saja. Yang aneh adalah
beberapa pejabat yang dulu berkuasa di bidang intelijen baru sekarang
melemparkan tuduhan atau dugaan, padahal Namru 2 sudah lebih dari 20
tahun ada di Indonesia.
Menjadi pertanyaan mengapa saat mereka
menjabat tidak melakukan tindakan jika memang menemukan bukti bahwa
Namru 2 melakukan kegiatan spionase.
Kegiatan spionase negara
asing terhadap tuan rumah bukan hal baru dan dilakukan melalui berbagai
cara. Tidak hanya dengan menggunakan lembaga resmi. Jepang dulu
menggunakan tukang potret, penjual mainan, dan pedagang kecil untuk
memata-matai Belanda di Indonesia.
Bahkan, kini menggunakan teknologi
canggih, seperti satelit dan lainnya. Bukan tidak mungkin Israel
mempunyai spion di Indonesia. Pejabat intelijen Indonesia tentu mafhum
dengan berbagai cara spionase itu. Menjadi tugas lembaga kontra
spionase Indonesia untuk melakukan tindakan jika diketahui ada spion
asing memata-matai Indonesia. Bukan hanya berbicara setelah lepas dari
jabatan itu.
Mungkin ada baiknya, secara terbuka para pejabat
tinggi negara berkomunikasi dengan Namru 2, menanyakan hasil
penelitiannya, apa yang sudah mereka sumbangkan untuk Indonesia. Ada
baiknya juga ditanyakan kepada peneliti Indonesia yang bekerja, atau
pernah bekerja sama, atau dibantu Namru. Jangan lupa, Namru adalah
lembaga penelitian, bukan penindakan. Jadi, jika saat KLB Demam
Berdarah, yang ditanyakan kepada Namru adalah sumbangan apa yang mereka
berikan kepada Depkes dalam mendeteksi atau mengantisipasinya.
Sementara penindakan atau pencegahan KLB menjadi tanggung jawab Depkes.
Jangan sampai ucapan pejabat tinggi itu bak menepuk air di dulang
tepercik muka sendiri.
Sebelum mengambil keputusan tentang Namru,
ada baiknya dibuat neraca plus- minus bagi dunia kesehatan dan
kedokteran Indonesia tanpa diselimuti kebencian atau memanfaatkan demi
popularitas. Kebencian terhadap AS, terutama pemerintahan di bawah
Bush, dapat dipahami. Namun, kebencian jangan berlebihan karena
bertentangan dengan ajaran agama.
Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Powered by Azrul's Jom Comment |