|
Sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia, negeri berpenduduk
Muslim terbesar di dunia, dan negara demokratis terpadat ketiga di dunia
(setelah Amerika Serikat dan India), tak pelak posisi dan peran Indonesia dalam
dunia internasional amat signifikan. Kendati demikian, banyak pihak memandang
Indonesia masih kurang optimal dalam memainkan peran tersebut.
Misalnya dalam konflik Burma, banyak pihak berharap Indonesia dapat berperan
banyak melalui lembaga ASEAN. Apalagi, sebagai negara anggota PBB yang kini
memimpin sementara Dewan Keamanan PBB, posisi Indonesia amat signifikan.Sebagai
negeri Muslim terbesar, peran Indonesia dalam wadah Organisasi Konferensi Islam
(OKI) kurang terlihat, utamanya dalam turut menyelesaikan konflik di Palestina,
Irak, Somalia, dan Afghanistan. Hal yang kurang lebih sama terjadi ketika
Indonesia kini terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Mengapa Indonesia memainkan peran minimalis di ranah internasional?
Raksasa tidur
Philip Bowring dalam tulisannya di International
Herald Tribune (30/11/07) menjuluki Indonesia sebagai raksasa siluman Asia
Tenggara. Disebut raksasa siluman, karena menurut Bowring, sudut pandang
Indonesia terhadap dunia internasional adalah luar biasa rendah, didukung pula
oleh politisinya yang lebih banyak melihat ke dalam, dan minimnya pemimpin yang
berani mengambil peran di panggung internasional.
Barangkali yang dibutuhkan Indonesia bukan semacam Presiden Iran Ahmadinejad,
Presiden Venezuela Hugo Chavez, ataupun Presiden Bolivia Evo Morales yang amat
artikulatif dalam menyuarakan isu-isu anti-kapitalisme dan anti-imperialisme AS.
Namun Indonesia perlu profil pemimpin atau politisi yang berani memperjuangkan
bangsanya juga bangsa-bangsa lain yang tertindas.
Uniknya, di tengah maraknya skeptisisme terhadap peran Indonesia, pada 12
November 2007 Indonesia mendapat Democracy Award dari International Association
of Political Consultants (IAPC). Penghargaan ini diberikan terhadap seluruh
rakyat Indonesia atas keberhasilannya menyelanggarakan pemilu langsung yang
demokratis dan minim kekerasan pada 2004. Juga penghargaan terhadap ikhtiar
seluruh rakyat untuk bangkit dari keterpurukan politik di era orde baru melalui
reformasi 1998. Sedikit banyak, penghargaan ini adalah sebuah pengakuan bahwa
bangsa dan negara Indonesia masih memiliki potensi.
Salah satu isu hangat di pentas ASEAN kini adalah Myanmar, yang juga akhirnya
menyeret Indonesia karena suaranya nyaris tak terdengar. Padahal tidak seperti
Singapura, Thailand, ataupun Malaysia, Indonesia tidak memiliki kepentingan
bisnis terlalu dalam dibandingkan dengan tiga negara jirannya. Thailand adalah
pengimpor utama gas alam Myanmar. Singapura adalah tempat bertetirah para
jenderal Myanmar dan keluarganya, di samping salah satu investor terpenting di
negara itu. Sebaliknya, Indonesia berada pada posisi independen, sehingga
semestinya lebih leluasa dan berani dalam bersikap.
Bagaimana seharusnya Indonesia berperan di ranah internasional? Sesuai Pasal
3 Undang-Undang RI No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, politik luar
negeri RI menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan
nasional. Pada Pasal 4 UU yang sama disebutkan juga bahwa politik luar negeri
dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif, dan antisipatif.
Kata 'bebas' dalam politik luar negeri ini berarti Indonesia secara mandiri
akan memutuskan dan menentukan posisinya dalam percaturan politik internasional
tanpa pengaruh ataupun tekanan dari luar. Sementara itu, kata 'aktif' berarti
bahwa Indonesia berkomitmen untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam
membantu membangun dunia yang adil dan damai serta bebas dari kolonialisme.
Di masa silam, peran ini dimainkan betul ketika Indonesia menjadi salah satu
sponsor Gerakan Non Blok. Bahkan, Konferensi Asia Afrika (KAA) yang dilaksanakan
di Bandung pada tahun 1955 dan prinsip Dasa Sila Bandung juga sampai kini masih
menjadi acuan untuk negara-negara yang tak ingin menjadi bagian dari blok
politik tertentu.
Tak cukup itu, pada tahun 1992 Indonesia kembali menjadi tuan rumah
perhelatan akbar Konferensi Negara-Negara Gerakan Non Blok. Terakhir, pada
peringatan 50 tahun KAA di Bandung tahun 2005, Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
sekali lagi menegaskan posisi Indonesia sebagai negara 'non blok' yang masih
mengacu pada prinsip-prinsip Dasa Sila Bandung.
Menanti peran aktif
Menjadi low profile saja bagi Indonesia
tidak cukup. Pemimpin spiritual Afrika Selatan, Desmond Tutu mengatakan, "Jika
Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, maka Anda telah berpihak pada
sang penindas. Jika seekor gajah menginjak ekor tikus dan Anda mengatakan bahwa
Anda netral, maka sang tikus tidak akan pernah menghargai netralitas Anda."
Dunia kontemporer masih sarat dengan gangguan terhadap keamanan dan
perdamaian. Belum lagi masalah ketimpangan ekonomi, kemiskinan, kelaparan,
hingga pemanasan global adalah masalah serius yang harus disikapi semua bangsa,
termasuk Indonesia. Indonesia dengan segenap potensi demografi dan geografi,
keterbukaan sistem politik, dan demokratisasinya, memiliki kapasitas yang
mumpuni untuk berperan lebih aktif di dunia internasional.
Peran ini pernah dimainkan secara jenial di masa silam dengan segala
keterbatasannya melalui wadah non blok. Apalagi UUD 45 dan politik luar negeri
Indonesia sangat mendukung upaya ke arah itu. Minimalnya, Indonesia dapat
berperan lebih aktif melalui wadah ASEAN. Organisasi ASEAN sedang mengarah
menuju `blok ekonomi dan politik baru` melalui penandatanganan ASEAN Charter dan
kawasan perdagangan bebas pada 2015. Namun, ASEAN pun menggenggam sejumlah
masalah keamanan dan perdamaian, seperti halnya di Myanmar. Peran yang sama
dapat dimainkan melalui wadah Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga PBB.
Heru Susetyo
Mahasiswa Program Doktor Bidang Human Rights and Peace Studies, Mahidol University, Thailand
Disadur dari http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=314864&kat_id=16
Powered by Azrul's Jom Comment |