Saddam
Hussein akhirnya menjumpai ajal di tiang gantungan di Irak, persis pada
perayaan Idul Adha. Berakhir sudah tiga tahun proses panjang
pengadilannya. Bahwasanya Saddam pantas dihukum mati hampir semua orang
sepakat. Rekor kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan
Saddam semasa menjadi penguasa Irak sungguh luar biasa. Namun, yang tak
biasa adalah bahwa eksekusi mati ini akhirnya terlaksana begitu mudah.
Pengadilan
terhadap Saddam adalah buah dari invasi AS dan sekutunya sejak Maret
2003, atas nama perang untuk menghancurkan senjata pemusnah massal.
Alih-alih menghancurkan senjata yang tak pernah ditemukan, perang
tersebut malah menyulut kekerasan dan konflik yang lebih luas. Ribuan
rakyat sipil telah tewas. Objek-objek warisan sejarah dunia hancur
lebur. Konflik internal antarfaksi di Irak semakin meruncing. Keamanan
dan perdamaian semakin jauh.
Maka, ketika AS dan para sekutunya
tak bisa, ataupun tak mau mengintervensi ataupun menghentikan eksekusi
mati Saddam, hal ini sangat mengherankan. Hukuman mati telah dihapuskan
oleh instrumen HAM PBB. Sebagian negara bagian AS pun telah pula
menghapuskan hukuman mati. Australia, Kanada, Selandia Baru, dan
Inggris (serta semua negara Eropa) telah menghapus hukuman mati.
Mengapa terjadi inkonsistensi dan Saddam dibiarkan menjumpai ajal di
tiang gantungan?
Tak semua mantan
tiran atau penjahat kemanusiaan dihukum mati. Sejak Perang Dunia II,
penjahat kemanusiaan yang dihukum mati dapat dihitung dengan jari.
Mahkamah Nuremberg (International Military Tribunal) di Jerman pada
1945 yang diselenggarakan sekutu untuk mengadili penjahat perang NAZI
hanya menghukum mati beberapa petinggi NAZI. Itupun ada yang kemudian
hukumannya diubah menjadi seumur hidup. Mahkamah Tokyo yang
diselenggarakan 1945 untuk mengadili penjahat perang Jepang (Military
Tribunal for the Far East), juga hanya menghukum mati beberapa
petinggi. Anehnya, tentara AS dan sekutu yang juga terlibat kejahatan
perang pada perang Eropa serta perang Asia Pasifik tak satupun diadili
di kedua mahkamah perang tersebut.
Hukuman mati pun tak terjadi
untuk penjahat kemanusiaan dalam konflik Bosnia pada 1992-1995. Juga
untuk penjahat HAM dalam konflik Rwanda tahun 1994. Statuta
International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY) dan International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang menjadi dasar mahkamah pidana
untuk kedua kasus tersebut memang telah menghapuskan hukuman mati.
Hukuman maksimum-nya adalah pidana penjara seumur hidup. Wajar jika
penjahat kemanusiaan seperti Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic,
Ratko Mladic dan Dusko Tadic (dalam kasus Bosnia), serta Akayesu serta
Rutaganda (dalam konflik Rwanda) tak satupun yang dijatuhi hukuman mati.
Hal
yang sama berlaku untuk para mantan tiran seperti Augusto Pinochet, di
Cile yang telah membunuh ribuan lawan politiknya, tak sekalipun
dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Desember 2006 ini ia menjumpai ajal
karena sakit. Pol Pot, mantan penguasa Kamboja, meninggal juga karena
sakit di tengah pengasingannya di hutan bagian utara Kamboja pada 1998
(sebagian sumber menyebut bahwa ia dibunuh oleh mantan anak buahnya).
Padahal, kejahatan pemerintah komunis Pol Pot sungguh dahsyat. Dalam
kurun 1975-1979 jutaan orang dibunuh dan disiksa secara luar biasa
sadis. Kitapun masih ingat dengan mantan diktator Philipina, Ferdinand
Marcos, yang terguling karena people power pada 1986 pun akhrinya meninggal karena sakit. Tak satupun yang dijatuhi hukuman mati.
Kalangan
yang tidak setuju dengan pidana mati beralasan bahwa hukuman mati
adalah hukuman yang sangat kejam, di luar perikemanusiaan dan melanggar
hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu
bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif
terhadap masyarakat. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan
dalam penjatuhan vonis, hukuman tersebut tak dapat dikoreksi karena
sang terpidana telanjur dieksekusi.
Amnesty International
(2006) menyebutkan bahwa sampai saat ini ada 129 negara yang telah
menghapuskan hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 88 negara menghapus
hukuman mati secara total, 11 negara memberlakukannya secara sangat
spesifik, yaitu hanya untuk kejahatan di waktu perang, dan 30 negara
masih mempertahankannya dalam hukum nasionalnya namun tak pernah lagi
melaksanakannya.
Inkonsistensi kasus Saddam
Sejatinya amat mudah bagi AS dan sekutunya untuk mencegah hukuman mati
terhadap Saddam. Sama mudahnya bagi mereka untuk mengubah hukuman mati
menjadi hukuman seumur hidup. Apabila mereka menghendaki, sedari awal
pengadilan terhadap Saddam dapat dengan mudah diintervensi.
Selama
ini AS dan negara-negara Eropa Barat adalah promotor utama rezim HAM
internasional. Deklarasi HAM Universal 1948 dan ratusan konvensi hukum
internasional lainnya dilahirkan dan dipromosikan oleh AS dan
negara-negara Eropa Barat, termasuk tentang penghapusan hukuman mati.
Instrumen regional tentang HAM di Amerika maupun Eropa, telah
menghapuskan hukuman mati. Mereka mempromosikan penghapusan hukuman
mati karena berpotensi melanggar hak hidup, hak manusia yang paling
asasi. Namun, di sisi lain, mereka membiarkan pengadilan Irak
mengeksekusi mati Saddam Hussein.
Ironi yang lain adalah para
prajurit AS sendiri yang melakukan kejahatan perang dan pelanggaran
hukum humaniter di Irak hanya sedikit yang kemudian dihukum. Itupun
dihukum di negeri sendiri (AS) melalui pengadilan militer dan tak satu
pun dijatuhi hukuman mati. Tak satupun yang diadili di Irak ataupun di
negera lain. Padahal, korban-korban tewas dari unsur rakyat sipil
seperti kaum Ibu dan anak-anak, dan laki-laki non combatants
yang tak berdosa begitu banyak. Belum lagi para tahanan perang Irak
yang mengalami penyiksaan di luar batas kemanusiaan, seperti pada kasus
penjara Abu Ghraib.
Di sisi lain, masyarakat AS dan masyarakat
negara sekutunya juga sebagian besar telah menolak hukuman mati. Contoh
menarik adalah kasus eksekusi terhadap terpidana mati Tim Mc Veigh,
pelaku pemboman gedung FBI di Oklahoma City-USA pada 19 April 1995.
Kendati ia telah terbukti bersalah selaku pelaku kejahatan yang
menewaskan 168 jiwa, tak sedikit kalangan yang membelanya supaya dia
tak dijatuhi hukuman mati, termasuk keluarga korban.
Inkonsistensi
seperti ini mengingatkan kita pada kasus penyelundupan narkoba oleh
warga Australia di Bali. Pemerintah dan sebagian publik Australia
sangat berkeberatan dengan dakwaan pidana mati terhadap Schapelle Leigh
Corby (tahun 2004) dan sembilan anggota the Bali Nine (tahun 2005)
dalam kasus narkoba di Bali. Kedua kasus ini menyedot perhatian publik
karena merupakan kasus penyelundupan narkoba dalam jumlah yang amat
besar dan layak diganjar hukuman mati sesuai UU Narkoba dan
Psikotropika Indonesia tahun 1997. Belakangan, hukuman Corby diubah
menjadi hukuman penjara dan hanya dua dari sembilan anggota Bali Nine
yang dihukum mati.
Di sisi lain, pemerintah dan publik
Australia seperti 'tidak berkeberatan' terhadap vonis mati untuk
Amrozi, Imam Samudra, maupun Ali Gufron selaku terpidana kasus bom Bali
2002. Menilik inkonsistensi itu, sepertinya AS dan sekutunya harus
kembali belajar bahwa setiap orang adalah berkedudukan sama di hadapan
hukum, setiap orang punya hak atas hidup, dan mempunyai akses yang sama
terhadap keadilan.
Ikhtisar
- Eksekusi untuk Saddam berlangsung begitu mudah.
- Tiran dan para penjahat kemanusiaan yang akhirnya dihukum mati, bisa dihitung dengan jari.
- Barat yang selama ini menentang hukuman mati, ternyata 'mendukung' eksekusi Saddam.
- Inkonsistensi tersebut mengingatkan pada proses hukum untuk warga
Australia yang jadi penyelundup narkoba dan tertangkap di Bali.
Heru Susetyo
Visiting Researcher Chulalongkorn University Bangkok, Staf Pengajar Fakultas Hukum UI
( disadur dari artikel saudara kandung gue di Harian Republika )