|
"Not all the Injustice accompanying the tsunami can be blamed on Mother Nature" (Editorial Bangkok Post, 23 Desember 2006)
Thailand sama halnya seperti Indonesia adalah negeri yang terlanda
tsunami 26 Desember 2004. Bahkan, tragedi ini dikatagorikan sebagai
bencana alam terbesar dalam sejarah Thailand. Tsunami menerpa enam
propinsi di tepi Lautan Andaman (Phang Nga, Krabi, Phuket, Ranong,
Trang, dan Satun) dan 407 desa (47 diantaranya hancur total) yang
dikenal sebagai daerah wisata berskala internasional.
Turut menjadi korban dalam tragedi tersebut adalah masyarakat nelayan
di pesisir pantai, komunitas adat terpencil, dan pekerja migran yang
bekerja di sektor turisme. Jumlah korban tewas dan hilang (per Desember
2005) lebih dari 8000 jiwa. Kendati tsunami menelan korban lebih banyak
di Sri Lanka, namun kerugian finansial Thailand lebih besar dari Sri
Lanka. Total kerugian akibat bencana ini berkisar dua milyar dollar AS
yang berpengaruh terhadap berkurangnya GDP Thailand sekitar 0.4%
Besarnya kerugian finansial yang dialami ini adalah nomor dua terbesar
setelah Indonesia yang mengalami kerugian sekitar 4.45 milyar dollar AS
(ADPC,2005).
Kendati demikian, dari lima negara terparah yang terlanda tsunami tahun
2004 (Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, Maldives) dapat dikatakan
Thailand memiliki respon (disaster response) dan persiapan (disaster
preparedness) yang relatif lebih baik. Minimal apabila dibandingkan
dengan Indonesia. Dimana, hingga kini kebijakan penanganan bencana
setingkat Undang-Undang (UU) -pun belum lahir di Indonesia.
Maka, dalam rangka mengenang dua tahun tragedi tsunami, tidak salah
apabila kita belajar dari persiapan dan respon Thailand dalam
menghadapi tsunami tahun 2004 ini.
Respon bencana Thailand
Dunia internasional mengakui bahwa pemerintah Thailand memiliki respon
tanggap darurat terhadap tsunami yang efektif. Thailand memiliki tiga
strategi respon terhadap bencana. Pertama adalah SAR (Search and
Rescue) dan identifikasi terhadap para korban. Kedua, adalah tindakan
mencegah penyebaran penyakit menular dan mencegah jatuhnya korban
susulan di antara mereka yang masih hidup. Ketiga, adalah proses
rekonstruksi dan rehabilitasi dalam jangka panjang bagi para korban
(UNDP, 2005).
Efektifitas respon ini terlihat dari terpenuhinya kebutuhan dasar
(basic humanitarian needs) para korban dalam hitungan hari. Bahkan,
lima hari setelah tsunami, pada 31 Desember 2006, Gubernur propinsi
Phang Nga (daerah yang paling parah terkena tsunami) sudah menghimbau
masyarakat untuk menghentikan bantuan karena telah lebih dari cukup.
Dan bantuan tersebut tidak sekedar terhadap warga Thai, namun juga
terhadap pekerja migran (migrant workers) yang sebagian besar berasal
dari Burma (baik yang berstatus terdaftar maupun gelap/ unregistered),
dan turis asing dari mancanegara (tercatat ada 37 negara yang warga
negaranya turut menjadi korban). Bahkan, pemerintah Thailand juga
menggelar operasi forensik berskala massif untuk mengidentifikasi
jenazah korban tsunami. Respon efektif ini didukung pula oleh perhatian
dan bantuan dari masyarakat luas, sektor swasta dan juga LSM/ NGO.
Hebatnya, para korban yang masih hidup juga sebagian turut
berpartisipasi secara aktif. Misalnya di Ban Muang, dimana para korban
turut membangun kamp penampungan sementara bersama-sama dengan lembaga
kemanusiaan.
Bagi para korban tsunami, pemerintah Thailand melaksanakan program
bantuan khusus antara lain berupa kompensasi (compensation schemes)
melalui delapan sub komite nasional-nya. Hingga November 2005,
kompensasi ini telah menjangkau 285.000 jiwa. Bantuan tersebut terdiri
atas bermacam-macam scheme.
Berkisar antara US $ 974, bagi keluarga yang kehilangan kepala
keluarga-nya hingga US $ 49 bagi korban yang menderita luka ringan.
Koordinasi penanganan bencana dipimpin langsung oleh Perdana Menteri
(ketika itu) Thaksin. Meskipun pada saat itu perencanaan persiapan
menghadapi bencana (national preparedness plan) bisa dibilang tak ada,
namun kerangka hukum dan hubungan struktural antar lembaga cukup jelas.
Manajemen penanganan bencana berada langsung di bawah kendali Perdana
Menteri (PM) yang melakukan koordinasi dan penggerakan langsung
terhadap sejumlah badan dan institusi melalui Kementerian Dalam Negeri
(Ministry of Interior) dan National Civil Defence Council. Pada tingkat propinsi dan distrik hirarki semacam itu berulang. Dimana gubernur dan Disaster Civil Defence Director berkoordinasi untuk mengimplementasikan program respon nasional di wilayahnya masing-masing.
Karena alur kerja yang jelas ini, tak ada struktur bersifat ad hoc yang dibentuk. Angkatan Darat Thailand (Royal Thai Armed Forces) dan kementerian yang lain melaksanakan fungsinya melalui National Defence Council.
Sementara itu, Palang Merah Thailand (Thai Red Cross) bergabung untuk
melaksanakan tanggap darurat di tingkat propinsi bekerjasama dengan
lembaga kemanusiaan yang lain.
Saat ini, pemerintah Thailand memfokuskan respon tanggap bencananya
pada rehabilitasi jangka panjang (long term recovery) terhadap
komunitas yang menjadi korban. Dengan dukungan dari kalangan swasta dan
NGO, mereka kini berupaya untuk merehabilitasi mata pencarian penduduk
(livelihoods) di sektor perikanan (fisheries), turisme, bisnis dan
pertanian (agriculture). Kemudian, perlindungan sosial khusus juga
diberikan kepada anak-anak, utamanya anak-anak yatim/ piatu. Termasuk
memberikan dukungan terapi psikososial bagi mereka yang mengalami
trauma pascabencana (psychosocial trauma).
Tak sekedar terhadap makhluk hidup, pemerintah Thailand juga menaruh
perhatian terhadap rehabilitasi lingkungan laut dan pantai. Dengan
dukungan dari lembaga dalam dan luar negeri, mereka merehabilitasi
terumbu karang (coral reef) dan membuat kebijakan (legislasi) untuk
melindungi dan merehabilitasi sumber daya alam di wilayah yang terkena
tsunami.
Kesiapan Thailand menghadapi bencana
Kesiapan Thailand menghadapi bencana bukan datang dari langit. Jauh
sebelum tsunami 2004 terjadi, negeri ini telah memiliki perangkat
kerja, kerangka hukum, dan struktur kelembagaan yang jelas dalam
menghadapi bencana alam. Kendati tidak secanggih manajemen bencana ala
Amerika Serikat (AS) ataupun Jepang, namun sedikit banyak manajemen
bencana ala Thailand telah berperan baik sehingga respon terhadap
tsunami 2004 berjalan efektif.
Sejak tahun 1979 Thailand telah memiliki Civil Defence Act.
Undang-undang ini adalah payung bagi otoritas ketahanan sipil disana
(National Civil Defence Council) untuk melaksanakan operasi/ aktivitas
perlindungan terhadap masyarakat maupun instansi pemerintah, juga untuk
memberikan bantuan dan melakukan tindakan-tindakan lain untuk
mengurangi kerugian terhadap bencana yang bersifat publik (public
disaster). Baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana karena
ulah manusia (man made disaster). Kegiatan ini berlangsung sebelum,
selama, dan sesudah bencana terjadi.
Adanya National Defence Council ini melengkapi National Safety Council of Thailand
yang lahir kemudian atas mandat Peraturan Perdana Menteri tahun 1995.
Perbedaannya, badan yang terakhir ini bertugas menangani keselamatan
publik terhadap kecelakaan lalu lintas, kecelakaan di tempat kerja,
kebocoran bahan kimia, hingga keselamatan di rumah dan gedung
bertingkat.
Pada tahun 2002, Thailand membuat terobosan menarik dengan membentuk
departemen pencegahan dan mitigasi bencana (Department of Disaster
Prevention and Mitigation) yang berada di bawah Kementerian Dalam
Negeri (Ministry of Interior) atas mandat dari Bureaucrat Reform Act 2002.
Departemen ini memiliki tiga fungsi. Pertama, peningkatan kapasitas dan
pengetahuan instansi pemerintah maupun masyarakat terhadap pencegahan
dan mitigasi bencana. Kedua, pemantapan dan pengembangan strategi
manajemen bencana. Ketiga, pengembangan teknologi informasi,
komunikasi, dan peralatan terkait dengan manajemen bencana.
Peningkatan kapasitas dan pengetahuan terhadap bencana dilakukan
melalui penyelenggaraan pendidikan formal dan informal di tingkat
nasional hingga di level akar rumput. Termasuk mengintegrasikan
pengetahuan tentang bencana dalam kurikulum pendidikan nasional.
Departemen ini memiliki enam Akademi khusus untuk pencegahan dan
mitigasi bencana (Disaster Prevention and Mitigation Academy), yang
tersebar di seluruh Thailand. Juga, mereka secara rutin
menyelenggarakan training dan latihan pencegahan bencana (disaster
drill) untuk para manajer, praktisi, pemerintah daerah, hingga pejabat
publik. Di tingkat regional, departemen ini memiliki 12 regional center
yang memiliki mandat serupa di tingkat regional. Departemen ini
memiliki target bahwa nantinya di tingkat sub district (tambon) sudah
harus memiliki satu tim SAR (Search and Rescue).
Pengembangan strategi manajemen bencana antara lain dilakukan melalui pelibatan masyarakat dalam program Community-based Disaster Risk Management
(Manajemen Resiko Bencana Berbasis Masyarakat). Dimana masyarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana dilibatkan secara aktif dalam proses
identifikasi, analisis, tindakan, monitoring, dan evaluasi terhadap
resiko terjadinya bencana. Sehingga, masyarakat dapat mengurangi
tingkat kerentanannya (vulnerabilities) dan sekaligus meningkatkan
kapasitas menghadapi bencana-nya (coping capacity).
Pengembangan teknologi menghadapi bencana dilakukan dengan melakukan
kerjasama teknis dan transfer teknologi dengan lembaga-lembaga
berkompeten di tingkat regional maupun internasional. Termasuk dalam
program ini adalah memantapkan sistem peringatan dini (early warning
system). Setelah terjadi tsunami 2004, PM Thaksin membentuk National Disaster Warning Center dengan misi antara lain memonitor dan memberi informasi terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi dan tsunami.
Satu langkah konkrit yang telah dilakukan, pemerintah Thailand telah
memasang 80 menara peringatan dini (early warning tower) di enam
propinsi sepanjang lautan Andaman. Sementara itu, 48 menara lainnya
yang dipasang di teluk Thailand akan usai dipasang pada Februari 2007.
Jumlah tersebut akan bertambah lagi hingga mencakup 57 propinsi rawan
bencana alam di Thailand. Sebelumnya, pada awal Desember 2006
pemerintah Thailand telah berhasil dalam memasang instalasi apung
peringatan dini terhadap tsunami (Deep Ocean Assesment and Report of
Tsunami - Dart) di tengah Lautan Andaman, 1100 km sebelah barat Phuket.
Instalasi ini bertugas untuk mendeteksi gelombang tsunami dan
mengirimkan sinyal peringatan kepada delapan negara yang berada di
sekitar Samudera Hindia (Bangkok Post, 6/12-06).
Belajar dari Thailand
Kendati relatif lebih siap menghadapi bencana alam, Thailand bukan
tanpa kelemahan. Tragedi tsunami 2004 mengajarkan kepada Thailand bahwa
ternyata kesiapsiagaan di level nasional tak otomatis menjalar ke level
lokal. Sama seperti Indonesia, skala bencana yang begitu luas tak pelak
membuat aparat lokal sempat kalang kabut. Bantuan datang begitu banyak
namun tak semua dapat didistribusikan. Disamping karena tak semua
barang bantuan dapat dimanfaatkan, juga petugas dan volunteer yang tersedia tak terlalu banyak dan kurang berpengalaman.
Kelemahan berikutnya adalah komunikasi dengan pihak donor baik di level
nasional maupun internasional. Karena, pemerintah Thailand tak pernah
secara resmi meminta bantuan kepada pihak internasional. Sehingga,
ketika bantuan datang, tak semuanya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan korban.
Catatan berikutnya adalah, tsunami 2004 mengajarkan Thailand untuk
memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok rentan yang turut
menjadi korban ataupun korban susulan (secondary victims) dari tragedi
ini. Mereka adalah anak-anak yang terancam menjadi korban eksploitasi
seksual dan trafficking.
Kemudian kelompok etnik minoritas, utamanya etnis Moken (sea gypsi) dan
minoritas muslim di sepanjang pesisir lautan Andaman. Juga, para
pekerja migran yang kebanyakan datang dari Burma dan berstatus gelap
(unregistered).
Di luar semua kekurangan tersebut, respon dan persiapan Thailand
menghadapi bencana sangat bisa dipelajari. Walaupun memang skala
kerusakan, kerugian, maupun korban jiwa akibat gempa bumi dan tsunami
tersebut tak dapat dibandingkan dengan Indonesia.
Hal yang bisa dipelajari adalah bagaimana Thailand memiliki perangkat
kerja, hubungan struktural, dan kerangka hukum yang jelas dalam
menghadapi bencana. Juga, bagaimana perangkat politik dan
pemerintahannya begitu serius dan berkomitmen untuk mengatasi bencana.
Perdana Menteri Thaksin barangkali kurang piawai dalam mengelola
keuangan dan kekerasan di Thailand Selatan (yang membuatnya terjungkal
September 2006 silam), namun dunia internasional mengakui kesigapannya
dan jajarannya dalam menghadapi bencana tsunami 2004.
Maka, kita memang tak dapat mencegah terjadinya bencana alam. Namun
kita juga tak dapat sepenuhnya menyalahkan alam atas segala kerusakan
dan kerugian yang terjadi. Apalagi, ketika kita tak pernah mengambil
pelajaran dan tak ingin untuk melakukan persiapan yang lebih baik untuk
menghadapi bencana berikutnya.
Heru Susetyo. Visiting Researcher pada Institute of Asian Studies,
Chulalongkorn University - Bangkok ; Staf Pengajar Fakultas Hukum UI -
Depok
( disadur dari artikel saudara kandung gue, di Berita Iptek Online )
Powered by Azrul's Jom Comment |