|
Artikel ini diambil dari Kompas. Menurut gw penting dibaca dan dicermati, karena sadar tidak sadar ekonomi Amrik pasti berpengaruh pada ekonomi kite pribadi. Kekeke.
Sri Hartati Samhadi
Meski tidak sedigdaya dan
seadidaya dulu, Amerika Serikat yang menyumbang sekitar 30 persen dari
produk domestik bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian
terbesar. AS sekaligus juga pusat keuangan dunia. Dengan demikian,
analogi ?AS bersin, seluruh dunia ikut demam? masih berlaku.
Kekhawatiran akan terjadinya resesi pada perekonomian terbesar itu
kembali mengguncang seluruh pasar saham global pekan ini.
Sejak
menyeruaknya kasus kredit macet perumahan (subprime mortgage) di AS,
Agustus 2007, kekhawatiran akan terjadinya resesi di AS?yang berisiko
menyeret seluruh perekonomian dunia dan kemungkinan dibarengi dengan
kejatuhan dollar AS?memicu gejolak liar pasar uang seperti roller
coaster di berbagai belahan dunia. Beberapa indeks saham mengalami
pemangkasan dan terpuruk ke titik terendah dalam sejarah.
Para
pakar menggambarkan krisis yang sekarang ini sebagai yang ?terburuk
sejak krisis finansial Asia 1997?, ?lebih buruk dari krisis LTCM? (Long
Term Capital Management, raksasa hedge fund AS yang kolaps September
1998), bahkan ?terburuk sejak Perang Dunia II?.
Sejauh ini belum
ada konsensus di kalangan pakar mengenai seberapa besar probabilitas
untuk terjadinya resesi. Namun, dengan dampak krisis subprime yang
semakin melebar ke mana-mana dan adanya data terbaru yang semakin
memperkuat indikasi terpuruknya ekonomi AS, pertanyaan yang muncul kini
bukan lagi apakah AS akan mengalami soft landing (perlambatan ekonomi)
atau hard landing (perlambatan ekonomi secara mendadak sehingga
mengakibatkan guncangan).
Namun, seberapa keras hard landing akan
terjadi dan seberapa dalam serta berapa lama resesi akan berlangsung.
Per definisi, resesi adalah penurunan pertumbuhan PDB selama dua
kuartal berturut-turut. Indikator lainnya adalah pendapatan riil
masyarakat, lapangan kerja, tingkat produksi industri, perdagangan
skala besar, dan penjualan eceran. Dari definisi ini, beberapa pakar
mengatakan, resesi sebenarnya sudah terjadi.
Berbeda dengan soft
landing, IMF yakin tidak akan ada decoupling jika yang terjadi adalah
hard landing. Artinya, semua negara akan merasakan imbasnya kendati
dalam skala berbeda.
Krisis utang
Beberapa
analis mengidentikkan krisis subprime di AS ini dengan krisis utang.
Bedanya, kali ini dialami oleh negara maju dan perekonomian terbesar
pula. Selain perekonomian terbesar, AS juga negara pengutang terbesar.
Dengan total utang 43 triliun dollar AS, setiap warga negara memikul
beban utang 145.000 dollar AS dan setiap pekerja yang bekerja penuh
menanggung 350.000 dollar AS. Ini belum termasuk utang pribadi, seperti
utang kartu kredit.
Selama ini Pemerintah AS membiayai utang
tersebut dengan memelihara defisit perdagangan dan defisit neraca
transaksi berjalan yang angkanya terus membengkak. Tak berlebihan
mengatakan, menggelembungnya ekonomi AS banyak ditopang oleh utang dan
konsumtivisme masyarakatnya.
Perekonomian AS bergerak dari bubble
(gelembung satu) ke bubble (gelembung lainnya), dan setiap kali bubble
itu semakin besar. Jadi, ibarat bom waktu, hanya menunggu meledak.
Bagi
AS sendiri, ini resesi kedua dalam tujuh tahun terakhir atau selama
pemerintahan George W Bush. Banyak yang menuding kebijakan penurunan
suku bunga secara agresif oleh Fed sebagai pemicu terciptanya bubble di
sektor perumahan dan kredit yang meledak sekarang ini. Namun, beberapa
analis lain, seperti ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, menuding
kapitalisme pasar bebas ala wild west di AS sebagai biang kerok.
Mereka
melihat, tiga resesi terakhir (tahun 1990, 2001, dan sekarang ini) tak
bisa dilepaskan dari tidak adanya regulasi dan pengawasan pemerintah
terhadap lembaga finansial. Salah satu contohnya adalah maraknya
praktik pemberian kredit yang ugal-ugalan, melanggar aturan
kehati-hatian, dan penuh jebakan bagi konsumen (abusive, fraud and
predatory lending) yang kemudian macet, seperti terjadi dalam kasus
subprime mortgage. Sementara intervensi preventif Fed dan pemerintah
hampir tidak ada.
Sejauh mana paket stimulus fiskal senilai
sekitar 145 miliar dollar AS (setara sekitar 1 persen dari PDB AS) yang
disiapkan Bush akan mampu membendung resesi? Pasar menanggapi dingin
karena kalaupun mulus dalam pembahasan di Kongres, dampak paket
diperkirakan marjinal. Pengalaman sebelumnya, ada time lag 1-2 tahun
sebelum efek terlihat di lapangan.
Banyak yang meyakini resesi
kali ini akan lebih dalam dan lebih lama dari krisis sebelumnya karena
magnitude yang sedemikian luas menyeret sistem perbankan dan lembaga
keuangan dalam spiral kebangkrutan yang tak tahu kapan berhenti.
Perkembangan
terakhir, krisis subprime sudah merembet ke segmen pasar mortgage dan
kredit konsumen lain, bahkan ke segmen kredit dengan kualitas lebih
baik.
Dampak ke Indonesia
Resesi global,
menurut PBB, akan sangat memukul negara-negara miskin, memperlambat
pertumbuhan perdagangan dunia, dan ada kemungkinan mengakhiri booming
harga komoditas yang sedang berlangsung. Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia memperkirakan emerging market Asia, termasuk
Indonesia, relatif tak akan terlalu terpukul oleh resesi AS, meski juga
tak sepenuhnya terbebas dari dampaknya.
Keyakinan ini didasari
pada kokohnya fundamental makroekonomi, solidnya posisi neraca
eksternal (neraca transaksi berjalan/neraca perdagangan), kebijakan
prudensial di sektor perbankan dan keuangan, serta relatif sudah
berkurangnya ketergantungan pada pasar AS.
Singkatnya, Asia
sekarang ini bukan Asia sebelum krisis 1997/1998. Survei Nielsen
Company juga menunjukkan masih sangat kuatnya optimisme konsumen Asia
bahwa resesi tidak akan terjadi. Kendati demikian, ADB dan Bank Dunia
mengingatkan, resesi dan gejolak pasar uang global masih berpotensi
memunculkan guncangan dan turbulensi di pasar regional.
Ada
beberapa saluran transmisi dampak resesi ekonomi AS ke perekonomian
dalam negeri. Pertama, lewat perdagangan. Meski ketergantungan terhadap
AS sudah tak sebesar dulu, AS sekarang ini masih pasar utama ekspor
Asia, termasuk Indonesia. Sekitar 60 persen ekspor emerging economies
Asia tertuju pada AS, negara-negara di zona euro Eropa dan Jepang (G3)
yang seluruhnya terkena imbas resesi AS. Untuk Indonesia, sumbangan
pasar AS terhadap ekspor 13-14 persen. Bappenas memperkirakan resesi AS
akan mengurangi ekspor Indonesia ke AS 2 miliar dollar AS tahun ini.
Turunnya
permintaan negara maju juga akan membawa konsekuensi lain, yakni
meningkatnya sentimen proteksionisme di AS dan semakin membanjirnya
produk murah China di pasar Indonesia. Ini pukulan baru bagi industri
manufaktur kita.
Kedua, lewat pasar uang. Meningkatnya persepsi
risiko investasi di emerging markets bisa memicu perubahan mendadak
sentimen pasar dan penarikan modal oleh investor. Apalagi dengan sudah
adanya indikasi asset bubble, ditandai oleh naiknya harga saham dan
properti di atas kewajaran.
Jadi, ada risiko terjadinya koreksi
tajam yang mengakibatkan guncangan di pasar uang atau perekonomian.
Arus modal jangka pendek sekarang ini menyumbang sekitar 60 persen dari
total arus modal masuk ke Asia. Kemungkinan pembalikan mendadak arus
modal secara besar-besaran, ditambah melemahnya dollar AS seiring
resesi AS, akan semakin menekan rupiah.
Resesi global menambah
ketidakpastian baru bagi perekonomian Indonesia yang tengah dihadapkan
pada banyak tekanan, seperti lonjakan harga minyak mentah dan kenaikan
harga barang kebutuhan pokok yang kian menekan daya beli/ konsumsi
masyarakat. Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai
sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Hal ini akan
berpengaruh pada kemampuan penciptaan lapangan kerja dan mengurangi
kemiskinan.
Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi
ruang manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian
di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau
stabilnya suku bunga global. Oleh karena itu, kita hanya bisa berharap
pada instrumen fiskal (APBN) yang kini sudah menanggung beban berat
berbagai subsidi untuk menggerakkan ekonomi.
Harus ada terobosan
di tengah lautan ketidakpastian yang mengungkung kita sekarang ini.
Istilahnya, lebih baik sedia payung sebelum hujan. Sense of crisis,
ketegasan, dan skala prioritas menjadi kunci penting di sini.
Powered by Azrul's Jom Comment |